Rss Feed
  1. Henry J. M Nouwen dalam bukunya berjudul “Kembalinya Si Anak Yang Hilang” menulis demikian:  “Dalam kata kembali, tersembunyi tindakan pergi. Kembali adalah suatu kedatangan setelah seseorang pergi. Bapa yang menyambut anaknya yang pulang begitu bergembira karena anaknya yang “telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali”. Kegembiraan besar dalam menyambut kembalinya si anak yang hilang menyembunyikan kesedihan hebat yang ada sebelumnya. Menemukan mempunyai latar belakang kehilangan dan kembali berarti menyimpan kepergian dibaliknya. Hanya jika saya berani menggali secara mendalam makna meninggalkan rumah saya dapat mencapai pemahaman yang sejati dari makna kembali ke rumah”.

    Penginjil Lukas menampilkan perumpamaan  tentang anak yang hilang untuk mengungkapkan belas kasih Allah yang tak berhingga, lebih dari kisah manapun di dalam injil.  Kisah ini ditempatkan bersama dua perumpamaan lain yakni perumpamaan tentang domba yang hilang (Luk 15:1-7) dan perumpamaan tentang dirham yang hilang (ay 8-10). Kisah ini memuat tiga tokoh utama yakni; anak bungsu yang pergi memboroskan harta dan kembali ke rumah, Bapa yang penuh belas kasih dan selalu memberi paling baik serta anak sulung  yang merasa terabaikan.

    Si Bungsu: Meminta Haknya & Meninggalkan Rumah

    Saya menyebut si bungsu sebagai anak muda yang malang. Dia pergi meninggalkan rumah dengan banyak uang dan kehormatan, menentukan sendiri jauh dari bapa dan masyarakat. Rumah adalah pusat keberadaan [saya], ada keamanan, perlindungan, dan damai sejahtera. Di dalam rumah ada suara yang selalu berujar; Bou, Mau Ulu, Bete, Anakku yang terkasih [Anak Sayang].  Meninggalkan rumah – melarikan diri dari tangan penuh berkat dan lari ke tempat yang jauh untuk mencari cinta.  

    Dia kembali dengan tangan kosong; uangnya (harta miliknya), kesehatannya, kehormatannya, dirinya, semuanya telah “diboroskan”. Kita menyaksikan ada kehampaan, kehinaan, kekalahan di sana, di dalam diri si bungsu. Suatu pemborosan yang memalukan dan memilukan.

    Mengapa kembali? Ingatan akan martabat keputraan yang amat bernilai membawa si bungsu itu kembali. Saat ia ingin diperlakukan seperti seekor babi, ia menyadari bahwa ia bukan seekor babi, melainkan seorang manusia, seorang anak dari bapanya. Kesadaran bahwa ia adalah putra, yang dikasihi.

    Bapa Yang Penuh Belas Kasih Memberi yang Paling Baik

    Bapa menunjukkan sikap autentiknya – kebapaan, belas kasihnya. “Ia berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia”.  Gerakan kasih semestinya demikian; menemui, menjumpai merangkul, mencium dan bahkan mengangkatnya ke tingkat yang tinggi.  Paus Fransiskus dalam Ensiklik Fratelli Tutti mengungkapkan demikian, “Kasih selalu berarti bergerak keluar dari diri untuk menyentuh wajah yang lain,  dimana ada kesakitan, luka, kekalahan dan berusaha memulihkannya. 

    Bapa menerima si Bungsu tanpa kalkulasi – perhitungan kerugiaan harta. Pemborosan harta diganti dengan pemborosan cinta. Pemborosan uang dibalas dengan pesta besar [bukan pesta pora]. Si pelamar kerja(upahan) dipulihkan menjadi anak.

    Inti kisah ini, kasih Bapa selalu berlimpah, tanpa batas, tak berhingga dan tanpa syarat. Bapa tidak pernah hilang, ia selalu menunggu setiap kepulangan tanpa peduli berapa kali kita pergi – meninggalkan rumah Kasih-Nya.  Hati Bapa mengandung cinta yang selalu menyambut kedatangan, cinta yang selalu ingin merayakan kedatangan kita. Ia selalu memberi yang paling Baik dan mahal. Memberi cinta, per-hati-an, dan segalanya secara berlimpah.

    Si Sulung : Hilang oleh Keirihatian

                Si Sulung salah paham tentang Kasih Bapa – baginya Bapa berbuat tidak adil terhadap dirinya dengan mempestakan si Bungsu. Ia mengalami kemarahan, terhadap ketidakadilan Bapa. “telah bertahun-tahun saya…..(ay. 29)”. Kasih bapa tidak bisa diprivatisasi menjadi milik perorangan. Kasih Bapa selalu terbuka kepada dan menjangkauu semua orang.

     Si sulung memang kalau dilihat dari luar, hidupnya tanpa cacat. Tetapi dihadapkan pada kegembiraan Bapa ia hilang oleh karena iri hati. Iri hati itu terpendam –membeku di dalam diri dan akan meledak. Si Sulung yang mengabdi, anak  teladan, tiba-tiba menampilkan sosol pribadi pendendam-sombong. Ia hadir tanpa kegembiraan.

    Membangun Persaudaraan

    Penginjil Lukas tidak menutup kisah ini dengan masuknya anak sulung ke dalam Pesta, dan kemungkinan bertobat. Penginjil membiarkannya terbuka dengan maksud supaya kita yang berhadapan dengan pilihan-pilihan hidup rohani yang sulit, percaya atau tidak percaya kepada kasih Allah yang senantiasa mengampuni. Diri kitalah yang membuat pilihan terutama pilihan akan persaudaraan yang tetap dan selamanya sebagai anak-anak Allah.

    Si sulung menyebut bapa hanya sebagai engkau, ia menyebut adiknya dengan anakmu, tetapi Bapa selalu menyebut si bungsu sebagai adikmu, dan anakku. Menjaga kasih persaudaraan dan menghapus dendam - permusuhan. Kita adalah saudara.  

    Berani Menjadi “sang bapa”

    Akhirnya, tidaklah penting mengidentikkan diri menjadi anak bungsu atau sulung; pelajaran berharga terletak pada keberaniaan menjadi ‘sang bapa’ yang setia mengampuni.

    Kita memiliki potensi untuk hilang dari “rumah bapa” – kesadaran akan Keputeraan hendaknya membangkitkan kita untuk selalu berada dalam kehangatan kasih Allah.

    Kehilangan – kepergiaan dengan alasan “pemborosan” itu memang menyakitkan - merugikan, tetapi pelajaran penting untuk kita adalah menemukan dan memberi yang paling baik dan mahal itu berkualitas surgawi. (27/05/2022 Rd. Ian Ck)

    Amin.

     

     


  2. 1 comments:

    Posting Komentar